Suatu hari Khalifah Harun Al Rasyid menjalani
kebiasaan beliau untuk mengunjungi daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya.
Kebiasaan ini beliau lakukan untuk memastikan bahwa setiap rakyatnya hidup
dengan penuh ketentraman dan kecukupan.
Di sebuah desa yang dikunjungi, beliau menyaksikan
sebuah pemandangan yang aneh, seorang kakek tua yang telah renta sedang sibuk
menanam pohon zaitun. Sesaat kemudian baginda Khalifah menghampiri orang-tua
tersebut seraya berkata, “ Wahai bapak tua, bagaimana mungkin bapak yang
sudah tua menanam pohon zaitun, padahal ia adalah pohon yang sulit untuk tumbuh
dan lambat untuk berbuah?” Orang-tua itupun menjawab, “Wahai baginda
Khalifah, orang-orang sebelum kami dahulu telah menanam untuk kami nikmati dan
kini kamipun menanam agar dapat dinikmati oleh orang-orang setelah kami kelak
nantinya.”
Mendengar jawaban yang sangat bijaksana itu, Khalifah
Harun Al Rasyid secara spontan berucap, “Subhanallah Zih Anta (sungguh bijaksana kamu)” Padahal
kebiasaan baginda Khalifah jika telah mengucapkan statement tersebut, secara otomatis memberikan hadiah bagi orang
yang telah membuat Khalifah berkata demikian. Maka lewat tangan para hulubalang
hadiah diberikan kepada orang-tua tersebut.
Sesaat setelah menerima hadiah itu, orang-tua tersebut
mengucapkan terima kasih dan berkata, “Wahai baginda Khalifah, biasanya
pohon zaitun baru berbuah setelah 5 tahun, namun pohon ini dapat berubah dalam
sekejap.” Mendengar jawaban yang kedua yang tidak kalah indahnya dari yang
pertama, Khalifah tersebut kembali secara spontan berucap, “Allah Akbar Zih Anta.” Untuk kedua
kalinya orang-tua tersebut kembali mendapatkan hadiah dari Khalifah lewat para
hulubalang.
Kemudian berucap kembali, “Wahai baginda, pohon
zaitun biasanya setahun berbuah satu kali, namun pohon zaitun saya ini dalam
sekejap dapat berbuah 2 kali.” Jawaban ketiga orang tersebut kembali
membuat baginda Khalifah takjub dan kembali mengucapkan, “Masya Allah Zih Anta.” Untuk ketiga
kali juga para hulubalang kembali memberikan hadiah dari kantong mereka.
Setelah itu Khalifah berinisiatif untuk pergi dari orang-tua tersebut sebelum
hadiah dalam kantong hulubalangnya habis semuanya.
Saya membayangkan betapa bahagianya orang-tua tersebut
karena mempunyai nenek moyang mempunyai kepedulian untuk memberi warisan pohon
zaitun kepada keturunannya. Sungguh beruntung pula anak-cucu orang tersebut
karena bapak atau kakeknya telah menyiapkan warisan pohon zaitun bagi mereka.
Nenek moyang orang-tua tersebut sebenarnya tidak saja mewariskan pohon zaitun,
akan tetapi mereka juga telah mewariskan sebuah spirit atau nilai, yaitu spirit
untuk memberi yang terbaik kepada anak cucunya. Tanpa spirit ini, maka
orang-tua tersebut mungkin tidak mempunyai energi untuk menanam pohon zaitun
bagi anak-cucunya.
Kita dapat mewariskan apa saja dari harta yang berupa
rumah, tanah, mobil, saham, deposito, perusahaan, dan lain-lain. Namun pastikan
dalam setiap hal yang kita wariskan terdapat nilai atau moral yang
menyertainya. Tanpa nilai atau moral yang kita wariskan kepada anak-cucu, maka
harta yang kita berikan justru akan menjadi fitnah bagi mereka di kemudian
hari.
Telah banyak kisah tentang beberapa hartawan yang
seusai harta diwariskan kepada anak-cucunya justru menjadi alasan sengketa di
antara mereka. Akibatnya harta yang sebenarnya melimpah ruah tersebut tidak
memberikan nilai manfaat bagi mereka. Kalaupun tidak terjadi sengketa harta
tersebut dalam sekejap habis, karena salah urus atau tidak mempunyai kompetensi
untuk mengurusnya.
Sebaliknya, mereka yang telah berhasil mewariskan
harta dalam wujud pendidikan moral dan kompetensi bagi putra-putri mereka,
harta tersebut dapat lebih berkembang dan lebih banyak memberi manfaat bagi
masyarakat sekelilingnya.
Allah telah berfiman dalam surat An Nisa’: “Hendaklah
khawatir di antara kamu, jika meninggalkan setelahnya sebuah generasi yang
lemah, mereka takut kepada mereka. dan hendaklah mereka berkata dengan
perkataan yang benar.”
Dalam kondisi tubuh yang semakin lemah, Khalifah Umar
bin Abdul Azis sempat mengumpulkan seluruh anak dan isterinya. “Wahai anakku
jika aku harus meninggalkan kalian sekarang, manakah di antara dua yang kalian
pilih, meninggalkan kalian dalam kondisi kaya raya sedangkan bapak kalian akan
disiksa oleh Allah pada hari kiamat kelak. atau meninggalkan kalian dalam
kondisi miskin dan bapak kalian akan mendapatkan surga Allah pada hari kiamat
kelak?”. Pertemuan itu diakhiri dengan kesepakatan untuk tidak menerima
apapun warisan berupa harta dari orang-tua dan ketegasan dari mereka untuk
selalu bertakwa kepada Allah SWT.
By: Intisari ceramah Ust. Miftahul Jinan
8 komentar:
cerita yang bagus...
kisah yg penuh istpirasi
Luar biasa...
Penuh makna... ^__^
Kisah yg inspiratif dan ada hikmah yg dapat diambil bahwa warisan berupa nilai dan moral, dari mana itu? tentu saja belajar dari Al-Qur'an dan hadits..
Makasih
Follback ya mas:
http://nomor2.blogspot.com/
Terima kasih telah berbagi dan pencerahannya. Salam silaturahmi.
http://hwilife.blogspot.com/
adem adem banget berkunjung disni..tentrem hati
tenang banget dengan alunan musiknya gan
@ Bloggers; Thanks...for comments
Posting Komentar