Kamis, 27 Juni 2013

Wedang Cemue



    Entah angin apa yang membawa fikiranku, tiba-tiba saja teringat dengan kampoeng halamanku yakni di kota Ngawi. Teringat dengan minuman khasnya, “Wedang Cemue”

Sejenak, muncul keinginan dalam benak hati ini untuk mencicipi kembali minuman tersebut. Dulu ketika aku masih kecil, apalagi ketika waktu musim hujan tiba Wedang Cemue menjadi minuman yang sangat favorit di cari masyarakat. 

Cuaca yang dingin sangat cocok ditemani dengan semangkok Cemue buatan ibu...emm...lezatnya...Mak nyeus.

Namun kini seiring dengan bergilirnya waktu, minuman ini pun semakin jarang ditemui. Sangat disayangkan memang minuman yang sudah turun menurun dari generasi dulu harus hilang begitu saja.
Ketika browsing resep di internet, saya menemukan beberapa minuman serupa. Tapi rasanya sangat berbeda dengan Cemue ala Ngawi. Resep yang saya temui kebanyakan menggunakan gula merah dan tambahan kolang-kaling atau kelapa muda, sedangkan Cemue ala Ngawi menggunakan gula pasir dan bawang goreng.
Bahan :
  • 3 lembar roti tawar, potong kotak kecil
  • 3 cangkir air putih
  • 1 cangkir santan kental
  • 3 sdm gula pasir
  • jahe sebesar ibu jari tangan, dikeprek
  • sejumput garam
  • daun pandan, remas-remas, ikat
Untuk taburan :
·         bawang merah goreng
·         kacang tanah kupas yang digoreng, bisa juga menggunakan kacang bawang atau kacang kulit kemasan yang dikupas hingga ke kulit tipisnya.
Cara Membuat :
  1. Rebus air dengan gula, garam, jahe, dan daun pandan. Gunakan api kecil. Aduk hingga gula larut
  2. Tambahkan santan, aduk agar tidak pecah, didihkan, matikan api
  3. Tuang kuah santan ke gelas saji, beri irisan roti secukupnya, taburi bawang goreng dan kacang, sajikan hangat.
Jangan ragu dengan perpaduan santan dan bawang goreng ya. Justru itu letak keunikan dan nikmatnya minuman ini. Semoga bisa menjadi alternatif menu untuk sahur di bulan Ramadhan nanti, Selamat mencoba Wedang Cemue ala Ngawi....””.

Selasa, 25 Juni 2013

Dimanakah Letak Kebahagiaan itu...??



Sahabat, setiap manusia didunia ini, entah itu dalam status & profesi apapun mereka selalu mencari kebahagiaan. 
Karena mencari kebahagiaan itu adalah fitrah manusia. Tidak peduli apakah ia seorang penjahat, koruptor, pelacur, mereka tidak  ingin keturunannya  mewarisi perbuatan buruknya.

Hal ini menunjukkan bahwa fitrah manusia adalah suci, lurus. Rindu kepada kebaikan dan kebenaran, serta anti dengan kebatilan. Tidak ingin sengsara didunia dan celaka diakherat.


Banyak orang yang mengatakan bahwa bahagia itu dirasakan ketika kebutuhan lahir dan batin sudah terpenuhi. Sehingga mereka mendata deretan kebutuhan dan berusaha dengan keras untuk mendapatkannya.

Diantaranya seperti kebutuhan rumah, kendaraan, pakaian yang mewah, kesehatan yang terjaga, mendapatkan rasa aman, kasih sayang, keberhasilan (karir) dan lain sebagainya.

Hanya yang menjadi pertanyaan, pernahkah dalam pasang surut kehidupan manusia baik dalam skala pribadi, keluarga, masyarakat tercipta kondisi dan situasi dimana kebutuhan pokok terpenuhi secara kesinambungan dan permanen??

Tentu, tidak mungkin terjadi. Karena karakteristik kehidupan didunia ini sangat tidak menentu. Selalu mengalami perubahan yang sangat cepat dan dinamis.

Ada orang yang mengira bahwa kebahagiaan itu terletak pada jabatan & kedudukan di masyarakat. Jabatan, kedudukan & kekuasaan yang tanpa ditompang oleh iman, dan dipagari dengan ketakwaan kepada Allah Swt, hanya akan membawa kehancuran seperti halnya Fir’aun.

Tidak sedikit pula orang yang memburu kebahagiaan dengan ketenaran (popularitas). Ia menghabiskan waktunya untuk mencari &  mencuri perhatian orang lain. Namun setelah ketenaran itu telah hilang ditelan waktu, hilanglah kebahagiaan sampai keakar-akarnya.

Lalu, dimanakah letak kebahagiaan itu...??